Ahad, 18 Mac 2018

TENTANG PERKAWINAN TAK TERCERAIKAN

TENTANG PERKAWINAN TAK TERCERAIKAN (MARKUS 10:1-12)

Perikop Markus 10:1-12 sebenarnya ingin menjelaskan ajaran Yesus tentang Perkawinan yang tidak terceraikan (walaupun di judul perikop dalam Alkitab LAI, ditulis: “Perceraian”). Berikut ini saya sarikan apa yang tertulis dalam Navarre Bible, dan A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, OSB:

Secara umum ayat Mrk 10:1-12:

Perikop ini sebenarnya menggambarkan bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan- pertanyaan supaya Yesus didapatkan oleh mereka menentang hukum Taurat Musa. Namun Yesus yang adalah Putera Allah, mempunyai pengertian yang sempurna tentang hukum Taurat Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang memperbolehkan perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati bangsa Israel yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas rendah, bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak martabat wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut dimadu, tentu kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa memperbolehkan membuat surat cerai, ini sudah merupakan ‘kemajuan’ kondisi sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita. Sebab pada saat suaminya ‘mengusir’nya, ia dapat memperoleh kebebasan.

Namun Yesus mengembalikan ajaran ini kepada hakekat perkawinan seperti yang ditentukan Allah dari semula, pada awal penciptaan dunia. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24). Allah telah menentukan sejak semula, bahwa kesatuan perkawinan tidak terceraikan. Pengajaran Magisterium Gereja Katolik menjaga dan mempertahankan ajaran ini dalam banyak dokumen (Konsili Florence, Pro Armeniis; Konsili Trente, De Sacram. matr; Pius XI, Casti connubii; Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, dll)

10: 2

Dalam hukum Musa, Ul 24:1-4, Musa memang memperbolehkan perceraian, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai …. sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya…” Dengan demikian ikatan perkawinan dikatakan putus, dan kedua pihak dapat menikah lagi. Meskipun orang-orang Yahudi setuju bahwa perceraian diizinkan, mereka tidak sepakat akan interpretasi perkataan ‘didapatinya tidak senonoh’, yang dapat menjadi alasan bagi suaminya untuk menceraikannya. Kelompok Shammai menyebutkan perzinahan sebagai satu-satunya alasan, sedangkan kelompok Hillel memperbolehkan alasan- alasan yang lain. Orang-orang Farisi mengetahui hal ini dan ingin menjebak Yesus, supaya Yesus membuat kontradiksi dengan ajaran hukum Taurat Musa ini.

10: 3-5

Yesus mengetahui maksud jahat orang-orang Farisi ini. Ia juga mengetahui bahwa Musa memperbolehkan perceraian justru untuk melindungi hak dan martabat kaum wanita. Peraturan Musa ini bukan untuk mendorong/ memberi hak istimewa kepada orang Yahudi untuk menceraikan istrinya. Perceraian pada jaman nabi Musa diizinkan demi mentolerir suatu kesalahan karena kekerasan hati mereka. Maka perceraian tidak pernah sesuai dengan rencana awal Allah Bapa saat menciptakan laki-laki dan perempuan.

10: 6-9

Rencana Tuhan untuk perkawinan manusia dinyatakan dalam kitab Kej 1:27 dan 2:24. Ikatan laki-laki dan perempuan itu nyata dan tetap seperti ikatan yang mempersatukan anggota keluarga. Di tengah dunia yang berpikir bahwa mengikatkan diri pada satu orang sepanjang hidup sebagai sesuatu yang sulit atau bahkan tidak mungkin; kita harus berani mengabarkan Kabar Gembira, bahwa hal itu mungkin dan dapat terjadi, sebab memang demikianlah yang menjadi rencana Tuhan terhadap perkawinan yang mempunyai dasar dan kekuatan di dalam Kristus (lih. Ef 5:25).

Perkawinan berakar dari kasih penyerahan diri secara total antara suami dan istri dan diarahkan untuk kebaikan anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka, dan oleh karena itu Allah menghendaki agar perkawinan tidak terceraikan. Tuhan berkehendak agar perkawinan menjadi buah, tanda, dan persyaratan dari kasih setia yang absolut Tuhan berikan kepada manusia, dan yang Yesus berikan kepada Gereja-Nya.

Kristus memperbaharui dan mengembalikan makna perkawinan seperti yang direncanakan Allah dari semula. Perkawinan yang diangkat oleh Yesus menjadi sakramen, memberikan kepada pasangan suami istri sebuah hati yang baru yang dapat mengatasi ‘kekerasan hati’ (Mat 19:8). Kristus adalah “ya” bagi semua janji Allah (2 Kor 1:20) dan pasangan suami istri diajak untuk mengambil bagian di dalam realisasi dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia dengan juga mengatakan “ya” pada janji perkawinan. Maka dengan ikatan perkawinan yang tak terceraikan ini, pasangan Kristiani mengambil bagian dalam ikatan kasih yang tak terceraikan antara Kristus dengan Mempelai-Nya, yaitu Gereja-Nya, yang dikasihi-Nya sampai akhir (lih. Yoh 13:1)

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Untuk memberi kesaksian tentang nilai yang tak terhingga dari perkawinan yang tak terceraikan dan kesetiaan perkawinan adalah salah satu dari tugas-tugas yang paling berharga dan paling genting bagi para pasangan Kristiani di masa sekarang ini.” (Familiaris Consortio, 20)

10:10-12

Di sini Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya yang mungkin terkejut akan pengajaran yang bertentangan dengan ajaran yang pada saat itu diterima oleh semua orang Yahudi. Yesus mengajarkan bahwa tidak satupun pihak (baik istri maupun suami) yang mempunyai hak untuk menikah lagi setelah berpisah.

Inilah yang sampai sekarang ini dipegang oleh Gereja Katolik, bahwa jika perkawinan yang dilakukan itu sah (tidak ada cacat konsensus, tidak ada halangan pernikahan dan perkawinan sesuai dilakukan dengan ketentuan kanonik), maka jika suatu saat kedua pihak memutuskan untuk berpisah, kedua pihak tidak dapat menikah lagi. Namun ada kalanya, setelah dilakukan pemeriksaan dari pihak tribunal Gereja (yang didahului permohonan dari pihak pasangan/ salah satu pasangan), dapat ditemukan adanya: 1) cacat konsensus 2) halangan/ ketidakmampuan seseorang untuk menikah, ataupun 3) perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan kanonik, sehingga perkawinan dapat dianggap tidak sah. Inilah yang disebut sebagai Anulasi (annulment) dalam Gereja Katolik. Maka anulasi tidak sama dengan perceraian, tetapi pernyataan dari pihak tribunal keuskupan bahwa perkawinan tersebut tidak sah dari awalnya, yang disebabkan oleh adanya ketiga hal tersebut yang terjadi sebelum dan pada saat dibuatnya kesepakatan nikah (jadi bukan berdasarkan kejadian-kejadian negatif yang baru terjadi sesudah kesepakatan perkawinan). Jika permohonan anulasi dikabulkan, artinya di mata Gereja perkawinan tersebut tidak sah, sehingga kedua pihak dapat menikah lagi, tentu harapannya kali ini dilakukan dengan sah, dan dengan demikian tidak terceraikan.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan tentang perikop Mrk 10:1-12. Semoga dapat dipahami, bahwa pada dasarnya kehendak Tuhan bagi perkawinan adalah satu suami satu istri, yang setia satu sama lain dan tidak terceraikan seumur hidup. Sebab Allah menghendaki agar perkawinan menjadi tanda lambang kasih-Nya kepada manusia, dan melalui perkawinan manusia mengambil bagian dalam kesetiaan kasih-Nya kepada manusia, yang juga tetap selamanya.

Sumber:
http://www.katolisitas.org/tentang-perkawinan-tak-terceraikan-mrk-101-12/

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

πŸ’•πŸŒΉTerkadang sendiri itu jauh lebih baik.πŸŒΉπŸ’• Nikmatnya hidup sendiri Siang banting tulang Malam sendirian Berteman kesepian  π™‰π™žπ™ π™’π™–π™©...