Lagu Liturgi adalah lagu yang diciptkan khusus untuk liturgi. Lagu Rohani adalah lagu yang diciptakan untuk kegiatan non liturgis seperti pertemuan karismatik, hiburan rohani, lagu pentas dan lain-lain. Pusat Pelatihan Musik Liturgi (PML) memberikan beberapa gambaran perbedaan Lagu Liturgi dan Lagu Rohani sebagai berikut:
Lagu Rohani mirip dengan manisan, dapat dinikmati namun tak cukup untuk memberi makan pada badan kita. Lagu Liturgi mirip dengan makanan bergizi, tidak selalu enak, namun perlu agar badan kita sehat dan kuat.
Lagu Rohani lebih banyak berbicara tentang dirinya sendiri atau situasi manusia daripada ingin mendengar suara Tuhan. Lagu Liturgi mengutamakan Sabda Allah dan menjawabnya dalam melaksanakan kehendak Allah secara nyata.
Lagu Rohani mengutamakan pujian kepada Allah (sering hanya di bibir) tanpa ambil pusing tentang konsekuensinya. Lagu Liturgi berpangkal dari hormat kepada Allah, dari kepentingan Allah (Kerajaan Allah) dan pelaksanaannya.
Lagu Rohani tak jarang termasuk "kitsch" atau seni palsu yang memberi kesan seni namun ternyata murahan. Lagu Liturgi tak jarang merupakan suatu tantangan, lagu dan syair yang kurang enak di telinga merangsang suatu tanggapan dari kita, dan inilah seni yang sejati.
Lagu Rohani praktis selalu berbentuk bait (monolog). Lagu Liturgi memakai juga bentuk sahut-menyahut, aklamasi, bentuk khusus misalanya "Kemuliaan" (dialog.
Pembedaan-pembedaan di atas tentu berdasarkan kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Kriteria Lagu Liturgi:
1. Harus main peranan dalam liturgi, merupakan bagian Liturgi meriah yang penting atau integral. (SC 112).
2. "Adalah Liturgi" atau "mengiringi liturgi".
3. Mengikutsertakan umat karena Liturgi "memupuk kesatuan hati". (SC 113, 114, 121; MS 5, 15, 16)
4. Syair terutama tentan penyelamatan Allah, maka diambil/diolah dari Kitab Suci atau dari teks Liturgi (SC 121).
5. Syair sebagai pegangan untuk hidup sebagai orang Kristen; dipupuk iman para peserta dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya dan menerima rahmat-Nya secara lebih melimpah. (SC 33).
6. Syair lebih penting daripada lagu. (SC 112)
7. Khidmat, bermutu tinggi/seni sejati (Paus Pius X), merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. (SC 7).
8. Bersifat Gerejani ("kami"/"kita") atau dengan kata lain "lagu umat".
9. Liturgi dan lagu liturgi sering "menantang", memuat kejutan, karena Allah memang lain dengan manusia. Perbedaan ini menuntut konsentrasi/serius dan sikap sopan dari manusia.
Kriteria Lagu Rohani:
1. Diciptakan untuk keperluan perorangan/devosi/pentas/pertemuan rohani/pendidikan (Sekolah Minggu) atau sebagai backgroun musik (MS 53).
2. Syair berpangkal dari/dan membahas pengalaman atau perasaan manusia.
3. Syairnya bebas (ungkapan sikap hati).
4. Bersifat perorangan ("aku"/"saya").
5. Tujuan untuk menghibur, melepaskan ketegangan.
6. Dihindari tema yang berat ("salib", "menyangkal diri")
7. Bagus namun sering tak bermutu.
8. Melodi musik lebih penting daripada syair.
9. "The singer" (penyanyi) jauh lebih penting dari pada lagu, "not the song". Dengan kata lain lebih bertujuan untuk komersial.
Kita sadar bahwa pengetahuan akan Liturgi tidaklah sama dan merata untuk seluruh umat. Oleh karena itu perlu diberi penjelasan agar ada keseragaman pengetahuan dalam hal ini. Sering kita melihat dalam Perayaan Ekaristi zaman ini, yang lebih ditonjolkan adalah "paduan suaranya" atau
"kelompok koornya" bukanlah keterlibatan umat dalam liturgi. Jelas ini sangat jauh dari pengertian liturgi yang sesungguhnya. Semoga dengan tulisan ini kita semakin diperkaya lagi terutama bagaimana ber-Liturgi dengan baik.
Selanjutnya perlu diingat bahwa yang harus diperhatikan juga adalah syair dari lagu itu, sebab dikatakan, “Syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.” (SC 121). Maka lagu- lagu yang dinyanyikan dalam liturgi harus mempunyai irama yang membawa ke suasana doa, namun juga syairnya sesuai dengan ajaran Katolik. Sebab prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik adalah “ Lex orandi, lex credendi“: apa yang didoakan adalah apa yang dipercaya/ diimani (lih. KGK 1124). Jadi apa yang dinyanyikan (yaitu doa yang dimadahkan), itu harus menjadi ungkapan kepercayaan iman kita.
Dengan prinsip ini maka lagu-lagu pop dengan syair yang tidak berkaitan dengan iman Katolik atau syair yang tidak sesuai dengan iman Katolik, tidak dapat dinyanyikan di dalam liturgi Gereja Katolik.
Perbedaan musik-nyanyian rohani dan musik-nyanyian liturgi:
Nyanyian rohani:
Digubah oleh komponis dengan maksud untuk dipakai di luar perayaan liturgi. Dari segi maksud tujuannya, musik-nyanyian rohani bukanalah musik-nyanyian liturgi. Jadi sudah sangat jelas sejak awal proses penggarapan musik-nyanyian rohani bahwa tempat untuk nyanyian-musik rohani itu ada di luar pperyaan liturgi.
Karena itu komponisnya tidak terikat pada kaidah-kaidah liturgi dalam komposisinya. Ia lebih bebas dalam mengekspresikan inspirasinya, ia lebih bebas dan fleksibel mencari teks untuk melodi yang ada, sehingga bisa saja teks melayani irama lagu dalam proses penggarapannya. Dalam hal ini teks bisa menjadi sarana untuk menggungkapkan pengalaman yang sangat pribadi, meskipun pengalaman itu barangkali dialami juga oleh banyak orang lain, tetapi titik tolak proses adalah pengalaman pribadinya, maka hasil komposisinya cenderung bertujuan personal-pribadi, demi kepentingan pribadi komponis sebagai titik tolak. Seterusnya yang bertanggungjawab pertama-tama adalah komponisnya, maka untuk menggunakannya di depan umum tidak perlu mendapat ijin dari siapapun selain komponisnya sendiri (bahkan komponisnya bisa membiarkan lagu itu dipakai oleh siapa saja atau kelompok apa saja), dan kalau mau dipublikasikan (dibukukan, dikasetkan-dibuat cd, vcd dan dvd) si komponisnyalah yang bertanggungjawab, nyamanya yang dicantumkan sebagai komponis berarti sebagai orang yang bertanggungjawab dan sekaligus mempunyai hak atas hasil karya ciptaan itu secara hukum. Dengan kata lain, lagu atau nyanyian rohani itu sebenarnya adalah miliknya, meskipun dikenal dan digunakan atau dinyanyikan oleh banyak orang lain.
Nyanyian liturgi:
Digubah oleh komponis dengan maksud untuk digunakan dalam perayaan liturgi. Tujuan khusus ini sudah disadari oleh komponis sejak awal proses penggarapan musik-nyanyian liturgi. Untuk mempermudah prosesnya, biasanya dilakukan kegiatan komposisi ini dalam suatu lokakarya yang diselenggarakan dan dibimbing oleh Gereja (oleh lembaga yang dipercayakan pimpinan Gereja).
Karena itu komponisnya sangat terikat pada kaidah-kaidah liturgi dalam komposisinya. Yang menjadi dasar inspirasinya adalah teks-teks liturgi dan teks-teks biblis (umumnya teks liturgi berdasarkan teks Kitab Suci). Komponis harus mmerenungkan berulang-ulang teks liturgi/biblis untuk mendapat inspirasi melodi lagu yang cocok untuk mengungkapkan isi teks itu. Dalam hal ini teks liturgi-biblis dilayani oleh melodi-musik, dan bukan sebaliknya. Maka kebenaran iman menurut teks yang ada jadi titik tolak inspirasi, dan kebenaran iman itu tidak boleh dikorbankan demi penyesuaian dengan irama lagu. Oleh karena itu teks-teks liturgi-biblis yang kebenaran imannya tidak diragukan, tidak boleh diubah-ubah dalam komposisi lagu liturgi. Gereja menuntut agar teks-teks baku tidak diubah-ubah seenaknya oleh komponis. Maka untuk memastikan sejauh mana hal ini dipatuhi, si komponis harus memberikan hasil karyanya kepada yang berwenang untuk diperiksa, dinilai dan disetujui atau diberi isin resmi supaya dipakai sebagai lagu liturgi. Inilah yang disebut nihil obstat (tak ada yang menyesatkan, diberikan oleh ahli teologi) dan imprimatur (resmi disyahkan, oleh pimpinan Gereja). Buku-buku nyanyian resmi untuk perayaan liturgi selalu mencantumkan nihil obstat dan
imprimatur itu. Bila sudah mendapat ijin resmi untuk dipakai dalam perayaan liturgi, maka hasil komposisi itu resmi menjadi milik bersama (milik Gereja) yang dipakai dengan tujuan yang dikehendaki oleh Gereja, demi kepentingan bersama dalam perayaan liturgi (perayaan bersama demi kepentingan umum, bukan perayaan pribadi demi kepentingan pribadi). Ketika suatu hasil komposisi nyanyian liturgi sudah dimasukkan dalam buku-nyanyian resmi, biasanya menurut tradisi, nama komponisnya tidak dicantumkan pada lagu-nyanyian itu, karena telah menjadi milik bersama, milik Gereja. Gereja biasanya mengenang jasa para komponis dalam catatan sejarah pembentukan buku nyanyian itu dan memberikan penghargaan yang sepantasnya-sewajarnya kepada mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku atau kesepakatan bersama.
Superπππ
BalasPadamTrima ksih ya
BalasPadamSemoga bermanfaat.