Selasa, 5 Disember 2017

KESAKSIAN NATALIA NENNY


Nama saya Natalia Nenny. Orangtua saya selalu bilang kalau saya berhasil di dalam pendidikan dan bisa meraih pendidikan setinggi-tingginya maka pasti saya akan mendapat karir yang baik dalam pekerjaan dan sukses di dalam kehidupan.

Suatu kali atasan di kantor memanggil saya ke ruangannya. Saat itu, ia mengungkapkan ketidaksukaan atas apa yang saya lakukan. Oleh karena hal itu, saya pun diberikan opsi olehnya yang menurut saya sama-sama tidak menyenangkan. Opsi itu, saya bersedia dipindahkan ke bagian lain atau saya membuat surat penguduran diri.

Bagi saya, hal tersebut sama dengan pengusiran secara halus. Jujur, saat di hadapan atasan, saya bisa menguasai emosi walaupun sedikit syok. Namun, begitu keluar meninggalkan ruangan, hati saya hancur berkeping-keping. Saya kecewa berat mengapa hal ini yang justru saya alami padahal impian saya adalah saya bisa memperoleh promosi, menjadi wanita karir.

Sejak kejadian itu, saya sudah merasa tidak betah bekerja di kantor. Saya ingin mengakhiri pekerjaan di sana karena harga diri saya sudah diinjak-injak.

Di dalam situasi itu, saya pun mulai membagikan apa yang saya alami kepada orang-orang sekitar. Tujuan saya hanyalah satu agar mereka berempati kepada saya. Sejalan dengan itu, kebencian saya terhadap orang-orang yang menyakiti saya tersebut pun semakin besar.

Suatu waktu, anak saya mengajak saya untuk pergi membeli sesuatu di pusat perbelanjaan. Ajakan itu pun saya sambut. Kami berdua pergi ke mall yang dituju.

Saat berada di mall, tiba-tiba saya merasakan keringat dingin, tangan berubah menjadi dingin, begitu juga dengan telapak kaki. Dinding-dinding mall terasa makin lama makin menyempit. Saya seperti tidak bisa keluar. Sungguh, saya panik ketika itu.

Dalam perjalanan mau menuju pintu keluar, saya pun mengalami kesusahan. Saya merasa takut mati, tidak bisa keluar dari pusat perbelanjaan tersebut. Pada saat saya berhasil keluar, saya melihat di situ ada pos polisi. Ketika sudah samapai, semuanya menjadi gelap.

Saat terbangun, saya sudah berada di atas tempat tidur saya. Tubuh saya lemah sekali. Namun, sebesar apapun keinginan untuk beristirahat, tetapi jantung saya tetap berdebar kencang.

Pada malam harinya, saya tidak bisa tidur. Saya ketakutan luar biasa seperti rumah mau menghimpit saya. Saya pun lari ke luar dari kamar, ke pintu luar rumah, di situ malah saya panik lagi. Saya kemudian memutuskan untuk masuk ke rumah. Rumah saat itu senyap karena orang-orang sudah pada tidur semua.

Peristiwa itu terus terjadi selama beberapa minggu. Setiap malam, saya mengalami serangan dan itu mengakibatkan kondisi saya layaknya mayat hidup.

Karena kejadian tersebut, otomatis saya tidak melakukan hal apapun kecuali berada di kamar. Saya khawatir dan merasakan sedih berkepanjangan. Untuk berbicara saja saya malas.

Mengatasi rasa ketakutan, saya pun mulai mencakar-cakar tubuh sehingga banyak bagian tubuh yang mengalami luka. Oktavian, suami saya, menjadi bingung dengan kondisi saya.

Ia bersama dengan orangtua berusaha keras untuk menyembuhkan saya dengan bantuan medis. Namun, hasilnya tetap nihil.

Akhirnya ketika semua usaha sudah gagal, suami saya berdoa dan di situ ada ketenangan yang luar biasa yang saya rasakan. Ketenangan itu belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya pun tersadar bahwa dengan doa, saya bisa memperoleh apa yang selama ini saya cari.

Oleh karena itu, pada malam-malam berikutnya ketika serangan datang lagi, saya mulai baca Alkitab dan mendengarkan musik-musik rohani. Terbukti, hal tersebut menenangkan hati saya yang ketakutan dan khawatir.

Perlahan tapi pasti, keadaan saya mulai berangsur-angsur membaik. Saya bisa keluar rumah, melakukan sejumlah aktivitas. Walaupun serangan kadang-kadang kembali datang, tetapi saya bisa mengatasi rasa ketakutan yang berlebihan itu dengan kuasa dari Tuhan.

Setelah diri saya kembali normal, saya bersama suami mengikuti sebuah acara persekutuan. Dalam acara persekutuan itu, sang pemimpin persekutuan menantang adakah yang mau melepaskan pengampunan kepada orang lain. Saya pun menunjuk tangan.

Satu persatu orang yang melukai, saya sebut namanya dan mulai menyatakan bahwa saya mengampuni mereka. Seperti ada batu yang awalnya menindih kemudian diangkat, itulah yang saya alami di dalam diri saya. Saya begitu merasakan kelegaan, kelepasan.

Sejak hari itu, saya mengubah impian dan bahkan pandangan saya. Jika dulu saya bermimpi ingin menjadi wanita karir yang berhasil, kini impiannya adalah menyenangkan Tuhan melalui yang saya punya.

Apabila dulu pandangan saya adalah saya adalah segalanya, sekarang, Tuhan adalah segalanya. Saya tidak ada artinya. Saya adalah milik Tuhan, hamba-Nya. Saya ingin memuliakan Tuhan lewat kehidupan saya.

πŸ’•πŸŒΉTerkadang sendiri itu jauh lebih baik.πŸŒΉπŸ’• Nikmatnya hidup sendiri Siang banting tulang Malam sendirian Berteman kesepian  π™‰π™žπ™ π™’π™–π™©...